Berita Terkini

Lika-liku Hukum serta Pendampingan Korban Kekerasan Seksual, KPU Purbalingga mengikuti Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual

Purbalingga – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah menggelar diskusi bertema “Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak” pada Rabu, 13/8/2025. Acara ini menghadirkan narasumber Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, Kabag Teknis Penyelenggara Pemilu dan hukum Dewanto Putra, yang membahas urgensi pencegahan kekerasan seksual serta pengalaman penanganan kasus oleh LBH APIK.

Kegiatan dibuka oleh Ketua Divisi Hukum Pengawasan KPU Provinsi Jawa Tengah, Muslim Aisha dalam sambutannya, Muslim, menegaskan pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual agar tidak terjadi sama sekali. “Upaya pencegahan itu harus memiliki tujuan utama agar kekerasan seksual tidak terjadi. Jika masih terjadi, berarti upaya pencegahan kita masih harus didorong lebih kuat lagi,” ujarnya. Ia juga menyoroti dinamika hukum yang berkaitan dengan kekerasan seksual.
Dewanto Putra menambahkan bahwa melawan kekerasan seksual adalah kebutuhan mendesak untuk menciptakan lingkungan yang aman. “Kekerasan seksual tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga jiwa. Kita harus berdiri tegak dan bersama-sama melawan ancaman ini,” tegasnya. Ia menekankan pentingnya kesadaran masyarakat untuk menciptakan lingkungan bebas dari kekerasan seksual.

Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko menjelaskan pengertian kekerasan seksual sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual. Ia memaparkan bahwa data kasus kekerasan seksual di Semarang dari 2016 hingga 2024 menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. “Kekerasan seksual meninggalkan dampak serius, seperti trauma berkepanjangan, hambatan akses terhadap hak dasar seperti pendidikan, ketidaknyamanan di tempat tinggal atau kerja, hingga risiko penyakit menular,” ungkapnya.
Rara juga berbagi pengalaman LBH APIK Semarang dalam menangani kasus kekerasan seksual. Ia menyoroti tantangan budaya patriarki yang masih menganggap kekerasan seksual, terutama dalam rumah tangga, sebagai urusan keluarga yang tidak boleh dicampuri pihak lain. “Banyak korban enggan melapor karena stigma sosial, seperti rasa malu atau ketakutan identitasnya terungkap,” jelasnya. Meski demikian, LBH APIK terus memperkuat layanan pendampingan hukum dan psikologis bagi korban yang mencakup proses hukum, restitusi, dan trauma healing.

Rara menegaskan bahwa akses bantuan hukum kini semakin mudah, termasuk bagi warga miskin. “Korban dapat mengajukan bantuan hukum gratis dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sesuai UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,” ujarnya. Ia mendorong perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual untuk tidak ragu melapor, karena layanan pendampingan hukum dan perlindungan kini lebih mudah diakses. (CY)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 63 kali